Tirto Adhi Soerjo : SEBUAH CATATAN YANG HILANG
Ada dua hal yang mendasari sebuah eksistensi manusia. Ruang dan Waktu. Tanpanya tidak akan ada wujud ataupun makhluk. Tapi di lain hal inilah yang menjadi batasan absolute manusia. Segala usaha, teknologi mungkin dapat membuat dimensi ini terlihat dapat di atasi manusia, tapi kedua hal ini selalu ada dan tak terbantahkan.
Sejarah adalah kiat manusia untuk berkompromi dengan waktu. dengan sejarah, masa lalu dan masa depan dapat terhubung. Kita tetap dapat mengenal apa yang hanya ada di masa lalu dan tidak dapat kita temukan di masa sekarang, melalui sebuah memori yang terangkum dalam sejarah. Namun layaknya sebuah kain nan panjang, benang-benang sejarah dapat di potong di sulam ulang di ambil bebarap benangnya, lalu di tenun atau di jahit kembali. Ada kalanya sejarah bisa hilang, baik karena keterbatasan kemampuan manusia maupun dihapus manusia untuk alasan khusus. Saat seseorang yang telah berjasa di masa lalu di hapus kenangannya, usaha keras nan gigih di hilangkan maknanya, dan sebuah karya besar di paksa menjadi anonym, kita akan menyaksikan bagaimana sejarah bisa begitu tidak adil.
Manggadua, Jakarta 7 desember 1918. Sebuah iring-iringan kecil-sangat kecil- mengantarkan jenazahnya keperistirahatn terakhir. Tak ada pidato-pidaato sambutan. Tidak ada pewartaan terhadap jasa-jasa dan amalan dalam hidupnya yang hanya berlangsung pendek. Selepas itu orang pun meninggalkannya. Itulah hari pungkas Raden Mas Tirto Adhi Soerjo (1880-1918). Situasi yang suram dan tampak tragis itu seakan berkebalikan dengan usaha-usaha yang pernnah dilakukannyadalam satu putaran hidupnya yang singkat itu, yakni menggerakkan dan mengabarkan bahwa republik yang masih merangkak kayak siput ini harus mandiri. Berdaulat. Merdeka.
Sipakah Tirto?
Dalam lipatan lusuh sejarah reublik, nama ini memang sempat hilang dan terkubur dalam ingtan kolektif masyarakat. Pun kalau nama itu mencuat dan masih menyisakan sedikit selip, itu berkat usaha keras penulis garda depan Indonesia, Pramudya Ananta Toer, yang sangat gigih dan intens mengumpulkan dan menyunting pelbagai informasi tentang ihwal tokoh ini. Lewat buku Sang Pemula inilah-juga dala tetralogi pulau buru (bumi manusia, anak semua bangsa, jejak langkah, dan rumah kaca. Sosok tirto menguak sedikit demi sedikit dan menguat. Ternyata suar pendar nama dan perannya tidak hanya berkelas obor yang berpendar lamat-lamat, tapi berkelas matahari yang memancarkan sinar teraang benderang bagi pencerahan kesadaran awal berbangsa.
Tirto adalah anak seorang priyayi terkemuka di Jawa Tengah , sisa sekolah Belanda HBS, mahasiswa kedokteran di STOVIA, dan aktivis pergerakan yang memiliki reputasi sabagai –ungkap Mas Marco Kartodikromo yang juga mantan muridnya- wartawan pengarang yang sanggup menulis dengan pisu belati yang membuat banyak orang “moentah darah”. Keterampilan menulis yang luar biasa itulah yang mengempaskannya pada sebuah pilihan hidup, yakni usaha menyuluh bangsanya lewat dunia jurnalistik. Denagn paparan yang rinci dan dengan dukungan setumpuk data primer yang mengagumkan, Pramudya mengukuhkan bagaimana kepeloporan Tirt di dunia kejurnalistikan dan kepengarangan fiksi (dalam sang pemla ini, pramudya melampirkan sebagian kecil (12 buah esai jurnalistik Tirtodan juga contoh karya fiksinya yaitu 3 buah.
Dalam dunia jurnalistik, Tirto –selain menjadi kepala redaksi Medan Piyayi, Koran pribumi pertama-pun terlibat, baik sebagai pengelola maupun penulis tetap di pelbagai surat kabar di antayranya poetry hindia, soenda berita , pembrita betawi , soeloeh keadilan, soeara spoor & tram.
Tulisan-tulisn dan polemiknya yang tajam dan menusuk jantung colonial hindia belanda, ia siarkan lewat Koran-koran itu. Di sana, akunya, ia menjadi pengawal pikiran umum yang berkewajiban merombak masyrakat kea rah kesejahteraan dan kesempurnaan. Di pergantian abad itu, Tirto telah tampil sebagaiseorang pribui pertamayang membebaskan diri dari manusia yang hanya menjadi budak administrasi kekuasaan colonial sebagaimana nasib kaum inlander di mana saja pojok bumi manusia ini. Lewat tulisannya, ia titip rasa merdeka dalam hati pribumi dan ia gerakkan hati-hati itu dalam mesin organisasi modern. Karena semangat ini pula yang menyebabkan pemerintah Belanda yang geram melakukan apapun yang dapat dilakukan untuk menghapus kenangan seorang sosok Tirto Adhi Soerjo.
Hasilnya, sekarang siapa yang tau sosok ini. Sebagai sosok perintis Sarekat Dagang Islam namanya telah terganti sosok haji Samanhudi. Sebagai perintis jurnalisme di Indonesia namanya bahkan samar di dengar sebagai tokoh Jurnalistik, layaknya HOS Cokroaminoto. Karya-karya jurnalistik besar yangbahkan mampu mengguncang pemerintah Belanda pun sulit di temukan. Dengan sangat keji eksistensi Tirto Adhi Soerjo telah di rampas.
Meski kehadirannya kini tidak banyak diketahui masa. Jejak-jejaknya akan selalu ada. Seperti layaknya karya Tirto Adhi SoerJo yang mampu menyentuh banyak orang, sosoknya pun akan dapat member bekas pada mereka yang terpengaruh hidupnya oleh beliau. Karena bagaimanapun sesuatu yang dulunya ada pasti mempunyai jejak sebagai bukti keberadaannya. Persoalnnya seberapa besar jejak itu. Sosok Tirto Adhi Soerjo adalah sosok yang besar jejaknya bagi peradapan manusia khususnya bagi masyarakat Indonesia. Jejak seperti ini tidak akan dapat dihapus oleh manusia manapun.
Yogyakarta, 4 Februari 2012