Terdapat
tiga hal yang harus dipertahankan suatu negara demi menyokong ketahanan negara.
Hal itu adalah; ketahanan militer, ketahanan budaya, dan ketahanan pangan. Yang
dimaksud dari ketahanan disini adalah kekuatan, keuletan, ketangguhan suatu
bangsa untuk menghadapi dan mengatasi hambatan dan ancaman baik dari luar
maupun dari dalam bangsa itu sendiri. Ketahanan pangan sendiri, menurut UU No
18 tahun 2012 ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara
sampai dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau,
serta tidak bertentangan degan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk
dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Pertanyaannya
disini adalah, sudahkah Indonesia, sebagai negara yang berdaulat, meraih
ketahanan pangan tersebut?
Dewasa
ini kita banyak sekali mendapati bahan-bahan pangan di pasar yang diimpor dari
negara lain, mulai dari buah, sayur, daging, susu, bahkan makanan pokok kita,
beras juga merupakan produk impor. Tercatat pada tahun 2013 hingga 2014 impor
beras Indonesia mencapai. Sekarang ini saat kita telah menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN, pergerakan masyarakat yang lebih bebas, perdagangan antar negara
yang lebih leluasa. Akankah kita menempatkan negara kita sebagai negara yang
terus meminta?
Indonesia
adalah negara yang besar, luas wilayahnya terbentang dari 95o BT
hingga 141o BT dan 60o LU hingga 11o LS,
terdiri dari 17.000 lebih pulau (baik yang sudah terbakukan ataupun belum oleh
Timnas PNR- Pembakuan Nama Rupabumi), 250 juta penduduk, dengan luas lahan
pertanian mencapai 14 juta ha (Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 2014 –
Kementrian Pertanian), dan luas perairan menacapi 5.4 juta km2. Hal
ini menyebabkan Indonesia bisa menjadi produsen kuat, sekaligus konsumen yang
hebat. Tinggal peran apa yang ingin kita ambil. Sebagai negara dengan iklim
tropis, dan sistem mason, Indonesia di anugrahi berbagai sumber bahan pangan,
mulai dari umbi-umbian, biji-bijian atau palawija, buah dan sayur, hingga
rempah-rempah yang memang sudah sejak dulu terkenal. Hal-hal ini yang
sebenarnya kita dapat memiliki sendiri, relakah kita membelinya dengan susah
payah dari negara lain. Selain memberikan keuntungan kepada negara lain yang
seharusnya dapat diperoleh Indonesia, hal ini juga dapat memicu kemunduran
dalam industri dalam negeri dan perekonomian nasional.
Penyebab
dari masih terhambatnya sektor pertanian hilir seperti agribisnis ada beberapa
hal, diantaranya pola produksi tak tersentral, melainkan tersebar pada hamparan
yang terpencar. Hal ini desebabkan lahan pertanian yang masih merupakan lahan
kecil tanpa ada pengelolaan yang mumpuni. Selanjutnya adalah biaya transportasi
pada daerah tertentu , khususnya di luar jawa relatif mahal, seingga
meningkatkan harga jual bahan pangan dan hasil pertanian. Penyebab lainnya
yaitu lokasi pemrosesan yang sering kali terppusat di kota-kota besar, sehingga
biaya transportasi bahan baku pertanian menjadi mahal, karena industri
cenderung memilih untuk lebih dekat dengan konsumen mereka agar distribusi
menjadi lebih murah namun dampaknya malah merugikan petani. Namun hal ini sudah
mulai di benahi oleh pemerintah dengan pengembangan tol air untuk pulau-pulau
besar Indonesia serta perbaikan infrastruktur di tiap daerah.
Faktor
kontinuitas dan ketersediaan juga merupakan hal yang perlu dibenahi. Produksi
dari sektor pertanian yang tidak berkelanjutan dan bersifat musiman sehingga
pada waktu tertentu komoditas tersebut menjadi sukar ditemukan di pasaran.
Sehingga belum mampu memenuhi kebutuhan bahan baku pabrik, karena dalam
memproduksi produk mereka, industri pasti menghendaki bahan baku dengan jumlah
tinggi untuk mengurangi biaya produksi satuan produk. Beberapa hal ini
menyebabkan kebanyakan industri memilih untuk mengimport kebutuhan bahan baku
mereka, karena dirasa memiliki nilai lebih dalam point-point diatas. Contoh
saja pada tahun 2007 impor susu Indonesia mencapai 70% kebutuhan susu nasional.
Pembenahan
pertanian tidak bisa hanya di bebankan kepada satu pihak saja, melainkan harus
dipertanggungjawabkan secara bersama-sama oleh setiap elemen masyarakat.
Pemerintah sebagai pihak regulator harus tetap memastikan serapan hasil
pertanian domestik tinggi. Hal inilah yang akan meningkatkan gairah pertanian
di Indonesia, jika produk mereka terjamin diserap oleh pasar maka, motivasi
petani akan menjadi lebih tinggi. Selain itu pembenahan infrastruktur. Adanya
peninkatan nilai setelah produk pertanian didistribusikan membuktikan
infrastruktur yang buruk. Petani akan semakin dirugikan apabila hal ini
terjadi. Saat mereka menjual hasil pertaniannya dengan harga rendah, sedangkan
konsumen harus membelinya di pasar dengan harga yang lebih tinggi bahkan
berkali lipat.
Petani
adalah subjek utama dalam masalah pertanian, maka etos kerja yang tinggi akan
dengan otomatis meningkatkan produktivitas hasil pertanian. Lahan pertanian
kita lebihlah luas dari pada Thailand, ataupun Vietnam, namun kenyataan bahwa
bahkan mereka mampu mengekspor bahan hasil pertanian dalam negeri mereka ke
luar negeri menunjukan bahwa pertanian di sana selangkah lebih maju. Namun
bukan berarti kita tertinggal. Inovasi pertanian mulai harus digalakkan intensivikasi
lahan yang sesuai namun masih tetap melestarikan. Keterbukaan pemikiran, akan
metode pertanian inovatif. Kebanyakan metode pertanian kita didasarkan ajaran
leluhur yang entah telah berusia berapa lama. Kita mampu, hanya keyakinan kita
yang timbul tengelam.
Akademisi,
seperti kita mahasiswa, jajaran peneliti perguruan tinggi juga harus mengambil
peran. Perhatian penuh pada sektor pertanian, dan tidak lagi acuh. Karena dari
lembaga keilmuanlah sumber dari segala inovasi dan teknologi. Pemikiran-pemikiran
untuk perbaikan pertanian kita, kemudian disalurkan ke lahan oleh para petani.
Dengan kerjasama bahu-membahu dari segala pihak
maka bukan tidak mungkin, Indonesia kita akan berjaya bersama pertaniannya.
Hidup Pertanian Indonesia!